Kerusuhan di Ekuador, yang terjadi sejak Kamis 30 September 2010 waktu setempat, terjadi setelah Presiden Rafael Correa tidak mampu mengatasi situasi saat dia bertemu dengan para polisi yang berdemo. Bahkan, Correa sendiri jadi korban serangan gas air mata dan belakangan merasa dirinya telah disandera setelah polisi mengepung pemimpin berusia 47 tahun itu di luar rumah sakit tempat dia dirawat.
Menurut kalangan pengamat, penyerangan atas Presiden Correa terjadi akibat polisi tidak bisa lagi mengendalikan emosi. Protes para polisi itu terkait dengan masa depan pendapatan mereka.
Polisi rupanya kesal mendengar rencana pemerintah untuk memotong bonus sekaligus memperpanjang periode bagi polisi untuk mendapat kenaikan pangkat, yaitu dari lima menjadi tujuh tahun.
Parlemen Ekuador dikabarkan menyetujui aturan itu menjadi undang-undang pada sidang Rabu, 29 September 2010. Namun, undang-undang itu belum diumumkan secara resmi sehingga belum bisa berlaku.
"Pemberontakan yang bermula dari masalah gaji ini bisa berakhir dengan tragis," kata pengamat dari Analytica Securities di Ekuador, Ramiro Crespo, seperti dikutip laman The Christian Science Monitor.
Menurut laman harian The Telegraph, dari ranjang rumah sakit, Correa menyebut para polisi yang memprotes sebagai "bandit yang tak tahu berterima kasih" dan berupaya melancarkan kudeta atas dirinya. Correa diberitakan hanya mengalami luka ringan.
Namun, Bertha Garcia, pengamat dari Universitas Katolik Pontifisial di Quito tidak yakin bahwa para polisi benar-benar bermaksud melakukan kudeta atas Correa. "Aksi mereka itu merupakan reaksi spontan dari polisi bergaji rendah," kata Garcia seperti dikutip harian Los Angeles Times.
Pemerintah Ekuador kini menerapkan status siaga darurat. Segera setelah pemberlakukan keadaan darurat, pihak militer menguasai bandar udara internasional di Quito. Perbatasan Ekuador dengan negara-negara tetangga pun ditutup.
Tentara pun untuk sementara waktu mengambil alih tanggungjawab keamanan dan ketertiban dari polisi. Pasalnya, situasi keamanan menjadi kacau saat banyak polisi memilih ikut unjuk rasa sehingga banyak terjadi kasus penjarahan. Kegiatan bisnis dan sekolah di Quito pun tutup.(vivanews.com)